Terus terang gue lagi merasa ngeblog tentang teknologi dan berprofesi sebagai reviewer adalah pilihan yang salah. Makin ke sini, gue makin nggak semangat lihat device baru. Dari tahun ke tahun, device baru yang muncul semakin terasa seperti update kecil yang tidak menarik. Is it just me? Atau memang gue saja yang makin matang jadi #ReviewerMales?
Still, Mobile World Congress 2017 ini bikin gue kembali tertarik sama beberapa hal dari dunia teknologi. Bukan. Bukan LG G6 atau Samsung Galaxy Tab S3. Device-device baru yang bikin gue kembali semangat justru mereka yang nggak terlalu banyak dibahas penggemar teknologi yang sering seliweran di timeline Twitter gue.
Porsche Design Book ONE
Gue adalah penggemar berat Porsche Design. Seumur-umur baru sekali sih beli produk mereka, kacamata gue yang lama (dan sayangnya hilang), tapi ada sesuatu yang menarik dari desain-desain mereka. Bahkan BlackBerry seri P yang memang didesain oleh Porsche Design menurut gue menarik, meskipun ketika diluncurkan BlackBerry sudah nggak lagi populer.
Porsche Design Book One menurut gue ganteng banget. Sleek dan simple, tanpa aksen berlebih. Logo Porsche Design memang masih muncul di beberapa lokasi, tapi sama sekali nggak mengganggu. Desainnya juga minimalis, tapi fungsional.
Porsche Design Book One ini dibuat sebagai alternatif dari Microsoft Surface. Device 2-in-1 ini tetap mengandalkan processor Intel Core i7 generasi terbaru, dengan RAM 16 GB dan SSD 512 GB. Tidak ada pilihan GPU untuk kemampuan gaming dan grafis yang lebih baik. Harganya juga bikin malas, $2,495 untuk Book One generasi ini. Ada juga stylus bikinan Wacom yang bisa nempel kaya prangko di sisi laptop.
Tapi, untuk ukuran percobaan pertama membuat hybrid laptop, Porsche Design Book One harus diacungi jempol. Yang istimewa dari laptop ini adalah desain engselnya. Iya. Engsel.
Tidak seperti laptop hybrid lain, bagian layar Porsche Design Book One bisa dilepas. Ada jarak yang lumayan dari dasar engsel ke batas layar/tablet Book One. Ini salah satu kunci desain yang menarik, karena Porsche Design punya senjata rahasia untuk bagian engselnya. Jarak ini juga yang memungkinkan Porsche Design Book One tetap jadi hybrid laptop ketika layarnya terpasang.
Layar Book One bisa diputar 180 derajat ke belakang, dan ketika diputar tidak ada gap antara layar dan body/bagian keyboard seperti pada laptop hybrid kebanyakan. It works and it works perfectly. Absolutely gorgeous!
Sony Xperia XZ Premium
Device kedua yang bikin gue tertarik adalah Sony Xperia XZ Premium. Bentuknya sih khas Sony banget, dan terus terang gue kurang suka dengan pilihan warna atau finishingnya, tapi ada satu yang istimewa dari XZ Premium: kameranya.
Untuk pertama kalinya, Sony membenamkan sensor kamera yang sudah jauh lebih baik, dengan kemampuan ekstra seperti super slow motion dan Predictive Capture. Kamera baru ini dinamakan Motion Eye dan menjanjikan kemampuan menangkap gambar yang setara dengan mata kita.
It is impressive indeed. Xperia XZ Premium bisa merekam super slow motion hingga 960fps pada resolusi 720p. Kamera mirrorless gue saja terbatas di 120fps. 960fps would be incredibly awesome!
Sensor Exmor RS pada ponsel ini punya kemampuan scanning yang 5 kali lebih cepat. Fitur ini menjanjikan gambar yang lebih tajam bahkan ketika subjeknya bergerak cepat, serta kemampuan low light yang lebih baik. Noise juga harusnya lebih manageable.
Gue bilang ‘menjanjikan’ dan ‘harusnya’, karena Sony punya kebiasaan buruk terlalu banyak memproses hasil foto dari kamera ponsel mereka. So much so that the photos look digital and less realistic. Semoga saja dengan Xperia XZ Premium ini, Sony sedikit menahan diri.
Well, those are the two devices I actually like from MWC 2017. Kalau kamu bagaimana? Device apa yang paling menarik hati dan minta dibawa pulang?