Sore adalah waktu yang selalu saya tunggu-tunggu. Bisa duduk tanpa gangguan sambil menikmati segelas (atau kadang-kadang sebotol) kopi dingin sambil menunggu jalanan Jakarta tidak lagi lucu (baca: macet nggak kira-kira) adalah kenikmatan tersendiri. Bahagia buat saya bukan Sederhana, tapi Kopiko 78°c.
Sore ini lain. Saya asyik sendiri memperhatikan seorang teman yang sepertinya gelisah sekali. Tengok kanan, tengok kiri, tiba-tiba bangun dari kursinya, kemudian duduk lagi. Penasaran, saya beranjak kemudian bertanya.
“Gue lupa nggak bawa kabel charger, Ry. Sekarang handphone udah sekarat nggak bisa ngecharge.”
“Ya ampun, gue ada kok. Kenapa nggak bilang dari tadi sih? Elo pake iPhone? Apa Android?”
“Android sih, tapi beda. Handphone gue pake USB-C.” Saya tidak punya pilihan lain dan hanya bisa ikut prihatin ketika dia mengeluarkan seongok OnePlus Two dari kantongnya.
‘Ongkos’ Jadi Early Adopter
Kopi saya tidak senikmat biasanya sore ini. Saya kepikiran nasib teman saya tadi. Harusnya sekarang ponselnya sudah tak bernyawa (Innalillah…). Saya tahu dia punya orang tua yang kurang sehat di rumah, jadi kekhawatirannya sangat beralasan. Saya juga tahu dia sempat mencari kabel USB-C ke beberapa toko ketika jam makan siang, tapi memang belum semua toko menyediakan kabel jenis ini.
That’s exactly the cost (or one of the costs) of being an early adopter. Living at the absolute edge of technology isn’t easy; it’s not cheap either. Iya sih, rasanya menyenangkan bisa punya ponsel dengan processor terbaru, teknologi layar terbaru, RAM dengan kecepatan tertinggi, dan beragam fitur lain yang belum dimiliki ponsel lain, tapi biayanya?
Barang Sama, Harga Premium
Saya sendiri dulu senang sekali berburu ponsel terbaru; hobi yang sudah lama saya tinggalkan karena satu alasan besar: mahal! Ponsel yang belum resmi beredar di Indonesia biasanya dijual dengan harga yang premium. Lihat saja Xiaomi Mi4C yang beberapa hari terakhir ini cukup menggoda iman. Meski harga resminya $240 untuk versi 3GB/32GB, beberapa pedagang di sini mematok harga bahkan sampai Rp 4.700.000.
Hampir semua merk sama. Samsung Galaxy S6 Edge ketika baru pertama diluncurkan terlihat beredar di beberapa marketplace dengan harga 13 juta lebih. IPhone 6S dan 6S Plus harganya tidak kalah dari motor bebek terbaru; toh, banyak juga yang antri ikut membeli.
For those who chase after these new phones for the love of technology, I salute you. Saya tahu persis senangnya ketika berhasil mendapatkan ponsel yang orang lain belum bisa pakai. Tidak bisa dipungkiri, banyak juga yang beli karena sekadar gengsi. *sigh*
Gengsi Tanpa Garansi
Biaya lain yang harus dihadapi early adopter adalah tidak adanya garansi dari Authorized Dealer di sini. Kalau beruntung, claim garansi masih bisa dilakukan di negara asalnya dengan bantuan teman atau si penjual ponsel. Tapi prosesnya tidak sebentar, karena ponsel harus benar-benar dibawa ke sana.
Beberapa ponsel beredar di bawah garansi distributor independen seperti WII dan B-Cell. Xiaomi Redmi Note 2, misalnya, hadir dengan garansi mereka-mereka ini. Tapi ya barangnya banyak, so you can’t really be the first, or the only one. Harga produk bergaransi distributor juga biasanya sudah lebih terjangkau.
Kemudian Muncul Kerepotan-Kerepotan Lain
Cerita teman saya yang lupa bawa kabel charger tadi hanya salah satu contohnya. Ponsel baru kadang masih punya segudang bug di sana-sini. Para early adopter harus rela bertahan dengan serangga-serangga yang hidup di dalam ponselnya sampai update terbaru resmi dirilis.
Saya mengalami ini ketika beralih ke Nexus 5 dua tahun yang lalu. Ketika pertama diluncurkan, baterai Nexus 5 luar biasa boros, dan kameranya sama sekali tidak bisa diandalkan. Saya masih ingat betul betapa saya (dengan senang hati, I might add) tidak menghiraukan kerepotan-kerepotan ini, hanya karena saya Nexus fanboy dan saya pakai Nexus 5!
Ketika Tiba Saatnya Ganti Ponsel Lagi….
Jangan salah. Harga ponsel seringkali terjun bebas. Ketika ponsel yang sama mulai beredar secara resmi di Indonesia, dengan garansi resmi dari produsennya, ponsel para early adopter mendadak kehilangan nilai jual. Kadang selisihnya lumayan besar, bisa sampai 20%-30%.
Resale value jadi salah satu biaya para early adopter juga. Seperti saya bilang tadi, jadi yang pertama untuk urusan teknologi bukan sesuatu yang murah.
Despite all of these costs, masih banyak yang suka jadi early adopter. Saya sendiri masih sempat lirik-lirik beberapa ponsel seperti Mi4c, meski tidak beredar secara resmi di sini.
Of course, there’s the Nexus 5x, which I would probably get as soon as I can. Iya sih, biayanya mahal, tapi bahagianya pakai Nexus 5x? Priceless.