Kamu yang ngikutin blog ini, atau sering merhatiin tweet saya di @AryMozta, pasti ngeh kalau saya akhir-akhir ini sedang kembali terjebak sama Windows 10 Mobile dan handphone yang belum 4G. Dua jebakan Batman ini bikin saya kangen banget sama dua hal: Android dan internet cepat.
Barusan, saya kebetulan sempat ngobrol sama salah satu satpam di gedung kantor client yang sering saya jajah koneksi internetnya untuk download atau streaming. Saya lumayan kaget ketika melihat Pak satpam ini, sebut saja namanya Pak Jefry (nama sebenarnya), sedang asyik nonton video dangdut di ponselnya.
“Wah, dangdutan nih, Pak?”
“Eh, Mas! Dari YouTube ini, Cita Citata,” jawabnya. Jempolnya masih tetap goyang-goyang.
“Emang nggak boros streaming dari YouTube, Pak?”
“Kalo kuotanya habis kan tinggal beli lagi, Mas.”
Penasaran, saya akhirnya nggak jadi naik ke kantor dan memilih duduk di pos sambil merokok. Setelah ngobrol soal koneksi internet dan paket data, saya jadi tahu kalau Pak Jefry adalah pengguna Telkomsel. Paket data yang digunakan punya kuota 2GB di jaringan 3G/4G, dan 2GB di jaringan 4G. Ponselnya juga sudah 4G.
Pesan moral dari cerita ini: saya iri! *lho?*
Rp 10.000 per GB
Kalau dilihat, paket data yang digunakan Pak Jefry tadi adalah paket promo 4G dari Telkomsel. Dengan kuota yang ditawarkan – plus 1GB tambahan kuota di jaringan Wi-Fi – harganya paling murah Rp 65.000. Ini masih tergantung lagi pada ada di zona mana kamu berada. We all know how awefully complicated the pricing scheme is.
Menurutnya, paket itu, dengan harga yang dibayarkan, sudah murah. Kalau dirata-rata, dia membayar sekitar Rp 17.000 per GB. Bagi saya, ini masih lumayan mahal.
Paket yang saya pakai sendiri dari XL, punya kuota total 13,5GB dan harus saya tebus dengan harga sekitar Rp 105.000. Ini berarti rata-rata saya membayar Rp 8.100 per GB. Kurang lebih.
Saya selalu berpendapat bahwa Rp 10.000 per GB adalah batas tengah yang wajar untuk koneksi internet cepat dan reliable. Kita tidak sedang membicarakan internet unlimited atau wired broadband yang biasanya lebih murah, ya. Saya juga sebisa mungkin menghindari paket yang membedakan kuota untuk jam berbeda, for reasons I will explain later.
Paket data yang biaya per GB-nya di bawah Rp 10.000, bagi saya masuk kategori murah atau terjangkau. Paket yang biaya per GB-nya di atas itu, bagi saya terasa sedikit mahal. Bahkan dengan asumsi ini, saya masih rela bayar lebih mahal kalau koneksinya memang cepat dan bisa diandalkan, sama seperti Pak Jefry yang tidak keberatan dengan biaya paket yang dia pakai. Padahal menurutnya, dia bisa 3-4 kali beli paket internet dalam sebulan.
Skema Paket Njlimet Dan Jualan Operator
Ngobrol dengan Pak Jefry membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal.
Mahal atau murah, kalau kita perlu, dan kualitas layanannya bisa dipertanggungjawabkan, rasanya tetap akan dibeli. Nggak ada alasan untuk tidak berlangganan paket data, apalagi sekarang (hampir) semua jalur komunikasi kita bergantung pada koneksi internet.
Berkaca pada cerita Pak Jefry, he doesn’t really care about different pricing schemes. Dia bahkan tidak pakai bonus 1GB di jaringan Wi-Fi Telkomsel, karena memang dia tidak tahu caranya (dan tidak ingin belajar). Pokoknya dia bayar untuk sejumlah kuota.
Dia juga sama sekali tidak memikirkan zonasi yang diterapkan Telkomsel. Terus terang saja, skema paket data Telkomsel ini lebih mirip misteri alam semesta rumitnya; hanya Tuhan yang tahu persis sebenarnya seperti apa pricing scheme Telkomsel.
Operator lain juga tidak bebas dari masalah yang sama. Tarif siang-malam a’la Super Ngebut XL, atau tarif bundling dengan Wi-Fi dan VAS seperti yang diterapkan Indosat, masih jadi jualan para operator.
Kemudian ada yang jualan paket internet unlimited, tapi ketika dibandingkan side-by-side, di jaringan yang sama, dengan device yang sama, kecepatannya jauh di bawah pengguna yang membeli paket volume-based. Silly.
Kenapa nggak pakai pricing scheme yang lebih straightforward? Yang lebih mudah dipahami pengguna, seperti Rp 10.000 per GB?
“Soalnya jadi nggak bisa jualan. Kalau operator A jualan Rp 10.000 per GB, terus operator B jualan Rp 9.500 per GB, ya pengguna pilih yang murah lah!” seru seorang teman yang akrab dengan industri komunikasi seluler.
Iya sih. Tapi kan sekarang juga pengguna menghitung sendiri paket yang paling sesuai dengan budget masing-masing. So why not just be honest about it? Why not make it simple?