Nggak banyak yang tahu kalau perkenalan gue dengan fotografi dimulai dari sebuah kamera tua pemberian Abah, Olympus Pen. Bukan, bukan seri kamera digital Olympus Pen yang beredar sekarang, tapi Olympus Pen EE-2, keluaran tahun 60-an. I fell in love with photography almost instantly.
Kamera ‘serius’ pertama yang gue punya adalah Olympus OM-1, tapi nggak lama setelahnya, gue mendapat warisan sebuah Canon AE-1 dengan lensa Canon FD 50mm f/1.8. Sejak itu, gue selalu jadi pengguna kamera dan lensa Canon. Bahkan kamera digital pertama yang gue punya adalah sebuah Canon; Canon 300D warna silver yang waktu itu rasanya keren banget.
Something’s Missing
I still keep most of my Canon lenses and a couple of Canon DSLRs, tapi gue lebih banyak motret dan bikin video dengan kamera Sony. Awalnya Sony A6000, kemudian A5100 (which I still use), A6300, dan akhirnya A6500. Don’t get me wrong; Sony cameras are technically superb. Kualitas gambar dan video yang keren, kemampuan low-light yang bisa diandalkan, dan fitur yang lengkap jadi andalan Sony di pasar APS-C mirrorless camera.
Tapi ada satu hal yang nggak pernah bisa gue temukan dari kamera Sony. Waktu pindah ke Sony A6000 dulu, gue pindah dari Samsung NX300 yang sangat – SANGAT – menyenangkan untuk digunakan. Feel menyenangkan itu yang nggak ada di kamera Sony. They’re technically great, but it’s hard to connect with the camera in your hands on a more personal level.
Klise sih, memang, tapi faktor X itu yang gue selalu cari dari gadget, termasuk dari kamera.
Hal sederhana misalnya, soal remote shooting dari ponsel menggunakan Wi-Fi, rasanya kok ribet banget. Sony A6500 sudah dilengkapi touchscreen untuk tap-to-focus, tapi malah nggak ada penanda di titik mana fokusnya kalau kita tap di layar. Layarnya juga bukan yang terbaik, meskipun cukup untuk kebanyakan pengguna.
And don’t get me started about the battery on these cameras; Dear God they’re horrible….
A Leap of Faith
Gue tertarik ketika Canon mengumumkan Canon EOS 77D. Kamera dengan kemampuan yang beda-beda tipis dengan Canon EOS 80D, tapi dengan body yang lebih ringkas dan ringan. Sounds like a recipe for a great camera. Awalnya gue mencoba untuk entah bagaimana jawil-jawil kamera ini. Cari unit demo yang bisa dipinjam atau main ke gerai Canon niatnya sih. Pokoknya coba dulu.
Entah karena image sebagai #ReviewerMales atau memang takdir yang berkata lain, gue nggak dapet unit EOS 77D untuk dicoba. So I made a silly decision.
“Beli aja lah! Nanti kalo nggak suka tinggal dijual lagi.”
And I did. Selang satu hari, paket berisi Canon EOS 77D dan sebuah lensa Canon EF 50mm f/1.8 STM mendarat dengan selamat di rumah. Gue sudah lama sekali nggak merasa sesemangat ini menerima gadget baru. Malam itu, gue menghabiskan banyak waktu membaca buku manual kamera ini. Iya, buku manual; baca buku manual itu ritual yang menyenangkan, sayangnya nggak semua gadget menyertakan buku manual lengkap di dalamnya.
Hari berikutnya, gue menyempatkan foto-foto sesering mungkin. Kebanyakan foto hal-hal yang nggak penting, but it was fun. Really fun.
Pengalaman Memanjakan Pengguna
Nggak bisa dipungkiri, Canon punya banyak sekali pengalaman memproduksi kamera DSLR. Gue merasa kamera ini didesain serba pas. Kontrolnya mudah, nggak butuh waktu lama untuk membiasakan diri. Dial di atas dan belakang memberi akses ke shutter speed dan aperture dengan mudah. Kualitas gambar dari sensor 24-megapixelnya juga memuaskan.
Low light? Well, Sony masih menang di kategori ini, tapi bukan berarti kemampuan low-light Canon EOS 77D ini jelek. Sampai ke ISO 3200, gue masih bisa dapat hasil gambar atau video yang sangat usable. Di atas itu, noise mulai terasa sedikit mengganggu buat gue pribadi.
Kamera ini juga dilengkapi layar yang bisa diputar-putar (maksudnya fully articulating), jadi buat bikin video yang serba sendiri jelas jauh lebih gampang. Bahkan ketika kamera harus diletakkan agak jauh, fungsi remote shooting di EOS 77D jauh lebih intuitif dan gampang digunakan dibanding punya Sony.
Ada microphone input meski nggak ada headphone jack, plus ada Dual Pixel AF untuk kemampuan autofocus yang asli juara banget. Tracking selalu tepat, apalagi dengan lensa STM yang memang dibuat untuk keperluan video-videoan. And the tap-to-focus function is just magical!
Everything feels right. Just right. Ada kesenangan sendiri pakai kamera ini untuk motret atau bikin video. Gue jadi lebih sering bikin video pendek yang sebenarnya nggak jelas akhir-akhir ini. Sekadar latihan color grading sambil utak-atik fitur-fitur kamera ini yang jujur saja banyak yang masih belum gue coba maksimal.
Fitur vs. User Experience
Sony A6500 gue laku. Iya, setelah beralih ke Canon EOS 77D, gue memutuskan untuk menjual si Sony A6500. Di satu sisi, lumayan uangnya buat modal beralih ke full-frame, khusus buat keperluan kerjaan yang masih menuntut hasil 4K dan kemampuan low-light yang super-kece. Untuk motret sehari-hari, gue hepi dengan si EOS 77D ini.
Sure, ada banyak yang dikorbankan ketika gue beralih dari A6500 ke EOS 77D. Gue kehilangan 4K video, good low-light performance, in-body stabilization, crop factor yang lebih lega, bahkan support untuk S-Log2 dan kompresi video yang lebih ramah. Gue juga kehilangan clean HDMI output untuk disambungkan ke external recorder.
Tapi sebagai gantinya, gue dapat kamera yang menyenangkan untuk digunakan, dengan menu yang mudah dinavigasi, fitur-fitur yang terjangkau dengan satu-dua tap saja, touchscreen yang lebih fungsional, kualitas foto yang oke, warna yang lebih enak di mata, serta layar yang bisa diputar-putar. And I get to shoot more often. I say that’s a good trade-off.
Terus sekarang jadi ngidam Canon C200 yang kayanya kece banget, atau EOS 5D Mark IV. Tapiii… (menangis di pojokan lihat saldo tabungan)