Saya masih sering mendengar keluhan seputar tidak bisa menghasilkan foto bagus karena kemampuan kamera yang terbatas. Di sisi lain, banyak juga yang punya kamera berharga puluhan juta, dengan lensa yang tidak kalah mahal, tapi hasil fotonya biasa saja. Jadi, masalahnya di mana?
Well, saya di sini bukan untuk menggurui, apalagi sok pintar. Saya hanya ingin berbagi pendapat soal hal ini. Ada satu hal yang mungkin tidak semua penyuka fotografi lakukan: kenalan dengan perangkat yang digunakan. Kenalan di sini bukan cuma sebatas kenal fitur-fiturnya, tapi juga kenal karakter kamera itu sendiri. Bagaimana kontrasnya? Bagaimana warna yang dihasilkan? And more importantly, bagaimana kita bisa menghasilkan foto yang ‘bagus’ dengan kamera yang kita punya?
Every Sensor Has Its Limits
Baik itu memotret dengan kamera DSLR, mirrorless atau dengan kamera ponsel, setiap sensor punya keterbatasannya masing-masing. Coba bandingkan hasil foto kamera DSLR dengan kamera iPhone, misalnya, dan kamu bisa jadi akan lebih menyukai hasil foto iPhone. Masalahnya bukan di kemampuan kamera DSLR yang terbatas, atau iPhone yang luar biasa bagus. Karakter dua kamera ini memang berbeda.
Di iPhone, hasil foto diproses sedemikian rupa agar menghasilkan foto yang user friendly. Artinya, foto yang dihasilkan sebisa mungkin sesuai dengan selera para pengguna iPhone dan user kebanyakan, tanpa perlu processing lebih lanjut. Ini bukan tujuan utama DSLR, makanya ketika dibandingkan secara langsung, boleh jadi hasil foto kamera DSLR terlihat lebih dull atau membosankan.
Inilah kenapa kenal dengan peralatan yang kita gunakan itu penting. Dengan kenal betul karakter sensor dan kamera yang kita pakai, kita jadi tahu harus berharap apa dari kamera tersebut. Biar nggak baper lah, udah ngarep ditembak ternyata si kamera cuma mau have fun aja (eh, gimana?).
Dengan kenal betul karakter sebuah kamera, kita juga bisa tahu persis harus melakukan apa di post-processing. Tiap sensor punya limit sendiri-sendiri, dan belum ada sensor yang bisa menghasilkan foto yang sama persis dengan apa yang kita lihat dengan mata. At least, tidak bisa 100% akurat. Post-processing adalah cara kita ngepush kemampuan sensor sampai ke batas maksimalnya; and it’s perfectly okay.
Tapi post-processing itu curang kan? Harus #NoFilter kan? Not quite. Nggak ada yang salah dengan post-processing kok. Fotografer ternama yang hasil fotonya kece-kece juga pakai post-processing untuk menyempurnakan foto mereka. Prinsipnya sederhana: garbage in – garbage out. Mengubah foto yang jelek jadi foto yang istimewa rasanya tidak (selalu) mungkin, tapi jika inputnya bagus, outputnya juga akan bagus.
So how can I know my camera?
Kebiasaan yang selalu saya lakukan ketika dapat kamera baru adalah baca buku manualnya. Dari buku manual, kita bisa dapat begitu banyak informasi tentang fitur yang tersedia di kamera. Setidaknya, memotret akan jadi jauh lebih mudah kalau kita kenal betul alat yang kita gunakan.
Soal karakter sensor, hasil gambar, dan kenal lebih jauh dengan peralatan yang kita gunakan, ini cuma bisa dilakukan dengan sering-sering motret. Tidak ada cara lain. Motretlah sesering mungkin, kemudian perhatikan hasilnya. Apa yang kurang? Apa yang bisa diperbaiki (di kamera, lewat koreksi exposure, maupun di post-processing)? Semakin banyak motret, semakin banyak belajar, semakin baik juga hasil yang bisa dicapai. It’s that simple.
Sebagai penutup, ijinkan saya berbagi satu foto dari trip ke Tanjung Puting bersama #AdventureBorneo. Foto ini diambil dengan kamera ponsel, di mode full-auto, tanpa koreksi di ponsel atau filter khusus. Lensa kameranya bahkan sedikit kotor karena ketempelan sidik jari.
However, I know this smartphone camera quite well setelah mencoba berbagai fiturnya selama seminggu lebih. I know how to push the image just right to produce an interesting foto. Sempurnakah? Tidak, sama sekali tidak. Tapi setidaknya foto yang dihasilkan terlihat lebih menarik. Dari sebuah foto yang berpotensi, hasil kamera smartphone ini bisa didorong jadi foto yang lebih baik.
15 Comments
Iya ya, mengenali karakter kamera yg kita pakai emg penting. Dan memang butuh waktu sih untuk lbh banyak ‘kencan’ sm si kamera selain baca manual booknya. Btw, itu foto diproses pake apa mas Ari. Di hp aku biasa pame snapseed. 😀
Aku juga pake Snapseed kok mbak, tapi untuk foto itu aku edit di Photoshop.
photoshop yang di smartphone atau yang di PC/laptop?
Terima kasih atas sharingnya mas. Em, selama ini saya masih belum mengenal si kamera. Alhasil saya selalu melihat yang lebih tinggi. Padahal sebenarnya poin pentingnya ada pada seberapa kenal kita dengan kamera yang dipunya. 😀
Salam kenal mas, dari blogger Malang
Salam kenal juga, Mas. Ayo motret! 😀
salam kenal mas Ary.. saya setuju dengan isi postingannya.. know your camera.. beberapa waktu lalu juga pakde Arbain Rambey pernah nulis “kamera terbaik adalah kamera yang kamu miliki”.. jadi bukan seberapa mahal kameranya.. tapi seberapa jauh kita mengenal karakteristik kamera sendiri.. teman2 saya beli DSLR tapi pada bilang hasil kamera hp mereka lebih bagus.. what the..? saya cuma nyengir..
Kencan dengan barang kita sendiri, butuh waktu = belajar = makin berilmu = cerdas. Intinya dari apa yang mas bilang itu pedas semua, ini nih kutipan ibu aku mas, “BISA KARENA TERBIASA”…gue makin suka sama nih yang nulis artikel! gue udah subs nih website pula.
Thanks, mas Rizky!
Hmmm, untuk orang-orang yang “mengeluh” hasil fotonya kurang bagus, mungkin harus belajar mendalami ilmu fotografi. Kalau mau dibawa serius ya, photography is not as easy as you think, altough is quite fun.
It is quite fun indeed. Jangan terlalu serius juga sih, tapi jangan nggak mau belajar. Ada banyak hal menarik yang bisa diexplore kok.
Kenal kameranya dulu baru ngeluh soal fotonya, soalnya kalo udah kenal yaaah biasanya gak bakal ngeluh, jadinya pengen upgrade #eh maksudnya fotonya upgrade, hehehe. Artikelnya menarik mas, salam kenal, blognya saya follow yah. 🙂
Thanks, mas! Salam kenal yaa.
Pingback: Uplet: Upload (Banyak) Foto Ke Instagram Dari Mac | Mozta
keren mas, kasih tips dong buat pemula hehe
terlihat jauh berbeda