Sigma 18-35mm f/1.8 Art Lens: Bulan Madu Yang Pendek

Pernah nggak sih ingin sesuatu sampai terbawa mimpi berbulan-bulan? I have, several times actually. Salah satu gear idaman yang selama beberapa bulan terakhir mengganggu nyenyaknya tidur adalah sebuah lensa. Not just any lens. It’s the Sigma 18-35mm f/1.8 Art lens.

Buat yang hobi fotografi atau suka bikin video dengan kamera mirrorless atau DSLR, lensa ini adalah salah satu lensa yang lumayan populer. Jarang banget ada lensa zoom dengan range 18-35mm dan aperture yang konstan di f/1.8. Nggak cuma itu, Sigma 18-35mm f/1.8 juga dikenal sebagai lensa yang tajam dan punya colour rendition yang oke.

Sayang, harganya lumayan mahal. Lensa ini dijual di kisaran Rp 11.000.000. Selain itu, ukuran dan beratnya jadi pertimbangan lain kenapa gue galau banget timbang-timbang beli lensa ini. Jadilah sambil nabung, sambil beberapa kali lihat review dan coba langsung lensa ini di toko atau via teman yang sudah lebih dulu pakai.

The Big Day

Sampai akhirnya suatu hari, ketika lagi asyik window shopping di beberapa marketplace online, gue nemu seller yang jual lensa ini dengan harga yang lumayan oke. Terlalu oke sebenernya, tapi entah kenapa waktu itu gue iseng untuk SMS dan ngajak sellernya ketemuan. He said yes.

Besoknya, gue bela-belain beli adapter supaya si Sigma 18-35mm f/1.8 bisa dipakai di kamera Sony. Lensa yang dijual memang untuk Canon, tapi cari adapter Canon EF to Sony Alpha nggak terlalu susah hari gini. Nggak berapa lama, gue sudah duduk manis di coffee shop sambil coba lensa Sigmanya di body Sony.

I was starstruck. Ketika COD, gue bener-bener jatuh cinta. Autofocus berjalan baik, bahkan ketika kondisi cahaya nggak begitu ideal. Karena gue pakai adapter bikinan Sigma juga, fungsi seperti Eye Autofocus dan continuous AF di video mode juga jalan lancar. Meski lensa ini 2nd, harganya menurut gue terbilang murah.

Yah, namanya juga khilaf, akhirnya terbelilah lensa idaman gue selama ini. Lumayan, hemat beberapa juta dari harga baru, plus kondisi lensanya terawat banget. I was happy.

Out Shooting

Seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru, gue jadi rajin jalan kaki dan motret dengan lensa baru ini. I was absolutely in love. Lensa Sigma 18-35mm f/1.8 ini tajam, terutama di tengah. Bahkan ketika pakai aperture f/1.8, hasil lensa ini masih cukup memuaskan. Stopped down to f/2.8 or f/4, the lens is absolutely brilliant.

Gue juga suka karakter warna dari lensa Sigma. Dibanding dengan lensa Sony 35mm f/1.8 yang selama ini gue pakai, Sigma 18-35mm f/1.8 ini punya karakter warna yang lebih natural, dengan kontras yang cukup. Karakter warna ini jadi makin terasa ketika ngerekam video, terutama karena gue pakai Slog2 atau Slog3.

Perbedaan paling terasa ada di colour cast. Lensa Sony 35mm f/1.8 lebih warm, sementara Sigma bisa memunculkan warna dengan lebih natural. Sure, fitur lens corrections di body jadi nggak bekerja, tapi Sigma 18-35mm f/1.8 bisa dengan mudah dikoreksi di aplikasi seperti Adobe Lightroom atau Photoshop.

Bulan Madunya Berakhir

I was really happy with the purchase; at least for a few weeks. Setelah mulai lebih sering motret dengan lensa ini, baru deh kerasa minus-minus yang sebelumnya nggak kelihatan. Ibarat orang pacaran, ini sudah lewat masa 3 bulan pertama. You know, si pacar baru yang tadinya talkative dan seru sekarang jadi lebih kelihatan bawel dan kok-ya-ngomel-ngomel-melulu.

Permasalahan pertama yang gue rasain adalah berat dan ukurannya. Iya, gue sudah tahu kalau lensa ini berat dan besar, dan masih memutuskan beli. Tapi, setelah beberapa minggu pakai, perbedaan berat dan ukuran dengan lensa Sony 35mm yang ringkas banget makin terasa mengganggu.

Karena ukurannya yang besar, setup kamera gue jadi kelihatan seperti kamera profesional atau DSLR. Ini berarti keuntungan-keuntungan pakai kamera mirrorless kaya bentuknya yang ringkas dan nggak cepat dilirik satpam kalau motret di ruang publik jadi nggak bisa lagi gue rasain.

Hal lain yang lumayan mengganggu adalah subjek foto yang sekarang jadi lebih cepat sadar kalau gue mengeluarkan kamera. Sebelumnya, motret di jalan atau taman itu bisa santai banget. Sekarang, baru ngeluarin kamera dari tas saja semua orang sudah tengok-tengok ke arah gue.

Yes, autofocus works, tapi setelah lebih sering pakai, gue malah jadi sering beralih ke manual focus dan mengandalkan focus peaking di monitor/external recorder untuk bisa fokus lebih cepat. Hal lain yang juga mulai kerasa nggak enak adalah nggak adanya OIS alias image stabilization.

Pada akhirnya gue lebih sering bertanya sama diri sendiri: do I really need this lens? Am I making the most out of its features? Buat gue, Sigma 18-35mm f/1.8 Art lens adalah lensa yang luar biasa. Persis seperti yang gue idam-idamkan selama ini. Sadly, it’s a lens I want, but not necessarily a lens I need. Gaya gue motret jadi banyak berubah karena pakai lensa ini; dan gue kangen bisa motret santai dan bebas kaya dulu.

I’m either gonna return to the old Sony 35mm f/1.8, or switch to the Sony A6500 to gain image stabilization and touch focus. What do you think? Should I keep this lens?

2 Comments

  1. trylaksono Reply

    Simpen aja mas! Buat rekam2/foto2 di controlled environment masih kepake banget toh? 😀

    • Iya sih, tinggal cari lensa buat daily driver yang lebih ringkas. Mungkin balik ke 35mm f/1.8.

Leave A Reply

Navigate